Pojok Opini & Puisi, Pendidikan
| Rabu 28 Dec 2022 08:53 WIB | 453
Syarahan Shadu Perdana yang dimotori oleh beberapa Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNRI. (F: FISIP UNRI)
Dalam keangkuhan mistikal mazhab-mazhab kuno Budhisme
Tibet, para pengkaji kebijaksanaan Timur akan menemukan mazhab Nyingma sebagai
satu diantaranya. Nyingma, besar kemungkinan didorong oleh rasa frustasi atas
persekusi yang menimpa penganut ajarannya, mempercayai keberadaan Beyul, yakni
lanskap-lanskap utopian yang bertempat dalam lembah-lembah tersembunyi yang
telah diberkahi oleh Padmasambhava, Sang Lotus dari Oddiyana.
Konon, Padmasambhava
menyembunyikan Beyul dalam pekatnya kabut-kabut pegunungan, kejamnya
badai-badai salju, terjalnya tebing-tebing, serta buasnya taring-taring hewan
buas. Nyingma inilah yang dijadikan inspirasi utama oleh
James Hilton, penulis kelahiran Lancashire, ketika menciptakan satu buah ruang
utopis dalam novel yang menjadi mahakaryanya : Lost Horizon (terbit tahun
1930-an).
Lost Horizon menceritakan tentang
beberapa survivor kulit putih yang terdampar di keangkuhan Pegunungan Kunlun
setelah pesawat mereka hancur lebur. Dalam kemisteriusan pegunungan yang
berbatu itulah para survivvor tersebut menjumpai sebuah lembah surgawi yang
disebut Shangri-La oleh penghuninya, sebuah lembah mistikal yang hanya mengenal
keharmonisan, kebahagiaan, dan ketenangan ; sebuah teriakan penuh keputusasaan
dari kekosongan spiritual Barat pasca Perang Dunia Pertama, serta kerinduan
akan harmoni yang nampaknya makin jauh untuk digapai dalam realitas masanya.
Bagaimana teks-teks kuno Nyingma
mendeskripsikan Beyul, atau kerinduan para pujangga Yunani atas Arcadia, hingga
angan-angan Hilton mengenai Shangri-la, semuanya merupakan imajinasi alam
fisikal atas angan-angan locus amoenus. Seluruh tempat-tempat tersebut selalu digambarkan
menghembuskan nafas-nafas mistik dalam tiap-tiap sudutnya, bersifat pastoral,
dan harmonis ; sebuah tempat ideal yang menjadi angan-angan manusia-manusia
yang tertindas, terusir, dan takut.
Hal ini menarik, karena berbeda
dengan El Dorado atau Sierra de la Plata, lokus-lokus mitologis yang beredar
kisah-kisahnya di kawasan Amerika Selatan pada masa kolonial berorientasi pada
cerita-cerita penuh dengan bukit-bukit emas dan perak, dua buah objek yang
menjadi motor kebangkitan era Kolonial. Sehingga, dapatlah saya simpulkan bahwa
angan-angan imajinatif atas locus amoenus merupakan citra dari harapan terdalam
manusia di zaman dan realitasnya masing-masing.
Mengenai angan-angan tanah
utopian inilah sebagian besar benak saya mengarah ketika selama empat jam
memoderatori kegiatan Syarahan Shadu Perdana yang dimotori oleh beberapa Dosen
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNRI; sebuah kegiatan yang memang semestinya
muncul dari rahim-rahim Universitas. Syarahan ini mengangkat tema “Paradoks
Utopia, Rezim Digitalisme: Obsesi Ilmu dan Kebenaran Singularitas” Jum’at lalu
(16/12/2022) dengan menghadirkan seorang Writepreneur dari Batam, Muhammad
Natsir Tahar sebagai pembedah utama.
Sepanjang kegiatan berlangsung,
Natsir menjelaskan logika perkembangan teknologi yang mulai menguasai
sendi-sendi kehidupan manusia secara sistematis. Dalam pandangan beliau,
perkembangan teknologi berpotensi untuk terciptanya masa-masa damai sejahtera, sebuah
masa di mana ketersediaan pemenuhan kebutuhan manusia ada pada puncaknya.
Sebuah masa di mana umat manusia
mampu memenuhi hasrat dan kebutuhannya tanpa perlu lagi bersusah payah, masa di
mana umat manusia tidak lagi harus dibayangi oleh ancaman perang dan konflik
tak berkesudahan, karena teknologi manusia sudah melayani semuanya berdasarkan
apa yang paling baik untuk manusia. Dengan kata lain ; Utopia yang menjadi
nyata.
Namun, masih seturut beliau,
realisasi utopia ini bukannya tanpa harga yang harus dibayar. Dengan segala
ketersediaan dan kemudahan itu, manusia akan kehilangan kesempatan mereka untuk
berjuang dan bersusah payah, sehingga dengan demikian, kenikmatan dan kemudahan
itu tak lagi mampu memberikan rasa bahagia dan puas kepada manusia ; Bagaikan
tanah yang didatarkan bagi Sisyphus dalam perspektif Camusian, tak ada lagi
susah payah dan absurditas, yang dengan demikian, makna hidup menjadi
sebenar-benarnya hilang dan tak dapat dicari, ditemukan, atau dibuat sendiri.
Inilah yang disebut oleh Natsir sebagai paradoks yang muncul ketika utopia
tercapai.
Di tengah syarahan dan diskusi
kritis yang mengikutinya, terlepas dari paradoks yang muncul, alam pikir saya
lebih suka untuk mengeksplorasi iming-iming utopia itu. Dalam fase sejarah yang
technological seperti sekarang, rupanya angan-angan utopian tidak lagi dipenuhi
oleh pemenuhan hasrat transendental serta kebersatuan manusia sebagai jagat
kecil dengan sekitarnya, namun justru dipenuhi oleh imaji atas kemudahan dan
kecukupan yang ditawarkan oleh pesatnya perkembangan teknologi dan Artificial
Intellegence (AI).
Namun begitu, masih ada
ruang-ruang kosong yang sepertinya luput dari perhatian para futurolog maupun
para advokat AI: Teknologi, sebagaimana manusia, akan dibatasi oleh
batasan-batasan yang tidak terbatas banyaknya. Salah satu batasannya adalah
pikiran manusia itu sendiri, dan ketika saya katakan “pikiran”, maka itu
mencakup produk-produknya, seperti moralitas, etika, cita-cita, ambisi hingga
kepentingannya. Sehingga, teknologi (dan masa depan yang akan dibawanya) tidak
akan mungkin independen dari kuasa dan kehendak manusia. Herbert Marcuse, pada
periode 60-an, memperkenalkan terma “Manusia Satu Dimensi”.
Bagi Marcuse, Manusia Satu
Dimensi adalah mereka yang dengan begitu saja tunduk pada kuasa
totalitarianisme yang mencekik, dengan masyarakat yang kehilangan kemampuannya
untuk berpikir sendiri, yang akomodatif dan permisif terhadap segala bentuk
penindasan. Manusia Satu Dimensi disuapi oleh kebutuhan-kebutuhan palsu serta
dieksploitasi oleh sifat-sifat eksploitatif manusia itu sendiri, sehingga
masyarakat banyak membuka dirinya secara pasrah untuk disuapi begitu saja
dengan kesempatan-kesempatan untuk “membeli” kebahagiaan.
Manusia Satu Dimensi mengais
kebutuhan koneksi dan afeksi sosial mereka melalui benda alih-alih melalui
sesama makhluk berjiwa. Manusia Satu Dimensi gagal menyadari bahwa hubungan
mereka dengan seisi alam semesta telah tereduksi menjadi relasi yang berkaitan
dengan kegiatan produksi. Totalitarianisme ini disponsori oleh konsumerisme dan
kejayaan teknologi ; dua berhala dalam Advanced Industrial Society.
Karenanya, berbeda dengan
penjabaran Natsir dalam Syarahannya, masa depan yang berbasis kemajuan
teknologi rupanya tampak begitu suram bagi Marcuse. Orang-orang bisa saja
mengatakan bahwa visi yang suram dari Marcuse mengenai ending dari
Techonological Phase adalah sebagaimana visi-visi suram para pemikir kritis
mazhab Frankfurt lainnya seperti Theodor Adorno atau Franz Neumann. Namun
begitu, ada yang berbeda antara Marcuse dengan Adorno atau Neumann. Marcuse
menjadi pahlawan bagi “padepokan” Frankfurt ketika jawara-jawara mereka abai
terhadap bahasan mengenai perubahan sosial (seperti Adorno dan Neumann).
Marcuse barangkali manusia
pertama di dunia yang menyadari dan menuliskan kritik yang begitu kuat atas
dominasi dan kontrol sosial model baru. Bagi Marcuse, masyarakat industrial
sebagai sebuah fase zaman terbaru telah menciptakan realitas yang menjadikan
represifitas berjaya karena seluruh kritik radikal yang jujur dan apa adanya
dimusnahkan oleh lautan kebutuhan-kebutuhan palsu, sementara segala bentuk
oposisi ditelan oleh sistem sehingga oposisi menjadi tiada karena kebutuhan
superfisialnya diakomodir oleh sistem kuasa yang berhasil mengintegrasikan
mereka kedalamnya.
Betul juga rasanya kutipan dari
Rumi, seorang mistikus sekaligus pujangga Islam yang terkenal itu. Beliau
berkata “Reality of things is (often) blocked by form and image”. Realitas
telah dikaburkan oleh hyperrealitas, yakni ketidakmampuan diri untuk membedakan
mana yang “realitas”, mana yang “simulasi realitas”. Cinta telah tereduksi
menjadi coklat dan bunga, sebagaimana kemakmuran direduksi menjadi nominal
berjejer-jejer di rekening Bank. Realitas atas segalanya dikaburkan oleh
bentuk-bentuk dan imej-imej, seperti kata Rumi tadi. Begitupun dengan
teknologi.
Realitas hakiki dari perkembangan
teknologi (dan kearah mana ia mengarah) terselubungi oleh bentuk dan imej,
kemudahan dan efisiensi membunuh nalar, sementara kemampuan manusia untuk
berpikir dijinakkan oleh kebutuhan-kebutuhan palsu yang harus dipenuhi melalui
gaji-gaji yang diterima dari pekerjaan-pekerjaan yang mencabut manusia dari
dirinya yang manusiawi. Techological rationality, terma yang juga
diperkenalkan oleh Marcuse, pada akhirnya jauh lebih bisa dipercaya
dibandingkan iming-iming utopia yang ditawarkan oleh teknologi yang senantiasa
dipenuhi ambisi-ambisi kapital.
Marcuse bukannya menolak potensi
kemajuan teknologi sebagai instrumen untuk mencapai kebebasan dan kebahagiaan
paripurna manusia, namun pada nyatanya, manusia justru ditundukkan oleh
seperangkat system of reasoning yang berpangkal pada inovasi-inovasi teknologi.
Sehingga dalam system of reasoning ini, yang ia sebut Techological
rationality, kebutuhan palsu datang menggantikan kebutuhan hakiki, sehingga
pada masanya nanti akan membunuh kemerdekaan manusia itu sendiri.
Dibunuh oleh fasilitas dan
inovasi teknologis tanpa makna, tanpa jiwa, dan kosong ; segala relasi yang
ada, adalah demi aktivitas produksi dan kepentingan kapital. Pada akhirnya,
bukanlah Shangri-la yang dibawa kemajuan teknologi, namun bencana reifikasi
masal umat manusia yang dipenuhi oleh fetisisme komiditas.
Bambang Putra Ermansyah__ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Meminati kajian-kajian Terorisme,
Kawasan Timur Tengah, Filsafat, serta Keagamaan (baik Abrahamic maupun yang
selainnya). Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat
sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum
tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk
asli Chiapas.