Pojok Opini & Puisi, Lifestyle
| Senin 26 Dec 2022 09:42 WIB | 1823
Foto Ilustasi (Foto: cio.com)
MATAKEPRI.COM - Perdebatan tentang Artificial Intelligence (AI) antara utopia atau distopia, terungkap dalam syarahan Shadu Perdana bertajuk Paradoks Utopia, Rezim Digitalisme: Obsesi Ilmu dan Kebenaran Singularitas. Diskusi ini diinisiasi oleh Tsabitah Cyndicate dan KedaiReka dengan tokoh di balik layar Prof. Yusmar Yusuf (fenomenolog dan Budayawan Riau yang terkenal dengan pemikirannya yang progresif-alternatif).
Hadir dalam syarahan tersebut
antara lain; DR. Meyzi Herianto (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik/Fisipol
UNRI), DR. Meliani (alumnus [Doktor]; kajian kebencanaan perspektif Weberian
[Cumlaude]), Saiman Pakpahan (Dosen FISIPOL UNRI yang berpikiran kritis),
Resdati, S.Sos, MSi (dosen muda perempuan FISIPOL UNRI), Fedli Azis (Ketua
Dewan Kesenian kota Pekanbaru), dan beberapa alumni FISIPOL UNRI yang memiliki
pemikiran kritis dan kreatif seperti; Satya Wira Wicaksana, Haldi Yunian, dan
lain-lain. Tak kalah kritis dan berpikiran tajam Bambang Putra Ermansyah tampil
sebagai moderator yang berhasil memancing minda para peserta untuk berpikir
ekstra keras.
Diskusi yang dimulai pukul 14.00
WIB hingga berakhir menjelang maghrib di ruang pertemuan mini-Norma Coffee
jumat 16/12/2022) itu sangat hangat dengan perdebatan, saling adu pendapat dan
‘’mengejar’’ nara sumber Muhammad Natsir Tahar seorang Writerprenuer, Digital
Business Consultant dan IT Support.
Untungnya bung Natsir yang
sengaja diundang dari Batam itu mampu mengimbangi berbagai pertanyaan dari para
aktivis muda yang kadang menusuk dan memaksa otak untuk berpikir lebih cepat
dan berpikir tidak biasa (out of the box).
Intelektualitas dan integritas
Natsir patut diapresiasi dengan keuniversalan ilmu yang dimilikinya serta
bergaya anak muda pula secara pemikiran dan penampilan. beliau membuka diskusi
dengan Humanisme Vs Dehumanisme yang mengambil alas AI sebagai alternatif.
Berangkat dari fenomena perkembangan platform digital yang begitu pesat.
Dimulai dari gejala dehumanisme
ultra-modern (1997) yang ditandai dengan kekalahan juara Catur Dunia Gerry
Kosparov melawan Deep Blue, sebuah
komputer IBM yang mampu mengkalkulasikan 200 juta langkah per detik. Pada 10
Februari 1996, Garry Kasparov menyerah kalah di game pertama dari enam
pertandingan melawan Deep Blue.
Peristiwa digitalisasi terus
berlanjut pada fase akhir dari Revolusi Industri 3.0 dengan sistem otomasi dan
kontrol logika yang dapat diprogram. Lalu revolusi industri 4.0. Analisis dan big data, Autonomous Robot, Virtual Reality, IoT,
Augmented Reality, Additive Manufacturing (3D), dan Cyber Security bukan barang baru lagi.
Kemudian diikuti dengan singularitas teknologi yang ditandai dengan kemunculan
Robot, penyatuan Biotech dan Infotech, Brain Chip dan Cyborg.
Lalu kini kita sedang menuju
masyarakat 5.0. Inilah fakta awal bahwa mesin komputer mampu mengalahkan
keterampilan manusia. Akankah eksistensi manusia sampai pada periode kritis (unskilled/skilled labour) terhadap dominasi
otomasi teknologi dan AI? mungkinkankah robot jelmaan AI itu mampu menggantikan
keberadaan manusia atau setidaknya merebut beberapa profesi yang biasa
dilakukan oleh manusia.
Bahkan untuk profesi yang
memerlukan intuisi dan perasaan, seperti hakim yang memutuskan sebuah keputusan
tidak hanya dari data dan fakta di persidangan, namun juga menggunakan hati
Nurani. Mungkinkah diselipkan sisi humanisme di tengah fenomena mimpi manusia
yang bisa disimpan dalam chip atau penanaman brain chip.
Lalu diikuti dengan penciptaan
manusia Cyborg atau penggabungan biotech dan infotech dalam satu tubuh.
Pertanyaan ini menggelitik peserta diskusi. Manusia yang diklaim sebagai mahluk
paling sempurna mulai dipertanyakan. Dosen muda Fisip Unri Saiman Pakpahan
menyebutkan AI, secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya yang dilakukan
oleh suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah dan juga sering disebut
kecerdasan entitas ilmiah.
Mengapa, apa dan bagaimana
AI diyakini mampu menggantikan manusia mengerjakan banyak hal? Saiman
menjelaskan tahapan paling rendah dari sebuah AI adalah Artifical Narrow Intelligence (ANI). AI
ditahapan dan jenis ini masih bekerja pada pekerjaan yang homogen dan terbatas,
tetapi hasil kerja dari ANI ini sangat berkualitas. Saiman menyebutkan
tahapan berikutnya dalam AI adalah Artificial
General Intelligence (AGI). AI pada tahapan ini, diharapkan
mampu menyerupai (imitasi) sistem kognitif manusia, dan mampu bekerja setara
manusia dalam leveling kognitif.
AI dalam tahapan ini menghendaki
ribuan artificial narrow intelligence untuk
terintegrasi dan inline satu AI dengan lainnya untuk bekerja sesuai
dengan aktifitas dari lahir sampai kematian manusia. Tahapan terakhir dari
sebuah AI tambah Saiman adalah Artificial
Super Intelligence (ASI). Pada tahapan ini, AI sudah setara dengan
manusia dalam konteks berfikir rasional, kognitif dan bahkan mampu menemukan
temuan temuan baru.
Narasi ini menurut Saiman,
terutama tentang tahapan dan jenis AI di dunia, baru sebatas ANI, yang
mengerjakan pekerjaan manusia secara singular, bekerja dalam beberapa aspek,
dan digerakkan oleh kecerdasan otak manusia. Lalu, entitas apa yang
menggantikan peradaban? Tanya Saiman lagi? Saiman menjawab sendiri
pertanyaannya itu bahwa manusia harus memiliki kecerdasan sebelum kecerdasan
tersebut disuntik kepada entitas AI, yang bekerja secara sistem, mekanis
dan robotic.
Saiman melihat peluang dalam
imajinasi penggiat AI yang meyakini bahwa kedaulatan Negara, individu,
kelompok, masyarakat dan semua yang memiliki aroma human, akan digantikan
oleh AI dengan dalil keterbatasan manusia dan efisiensi kerja AI.
‘’Namun, kita belum mendapat kabar tentang bagaimana keyakinan para ilmuan
terhadap ‘unduhan’ keberhasilan AI dalam konteks ke ibu an dan air
mata. Butuh kegilaan lebih lanjut dalam falsafah berfikir untuk menerobos masuk
dalam rumah peradaban manusia, yang sudah dirintis’’ terang Saiman yang dikenal
dengan pemikirian kritisnya itu dalam sebuah ulasannya dari syarahan ini
bertajuk Techo Imperium, Peradaban Utopis?
Fedli Azis, seorang seniman
teater yang juga ketua Dewan Kesenian Kota Pekanbaru mengaku terkejut dengan
kedegilan pemikiran yang muncul dalam diskusi itu. “Saya Terkesan. Ada Mutiara
di Kampus itu”, tulisnya dalam sebuah tulisan. Dia mengakui peristiwa ini
langka terjadi.
Apalagi setelah para
senior-senior dari kalangan seniman sudah
berstatus “Allahyarham” seperti Al azhar, Hasan Junus, Idrus Tintin,
Bustamam Halimi, Dasri al Mubari dan banyak lagi. Fedli berharap peristiwa
diskusi seperti ini dapat terus berlanjut di masa hadapan. ‘’Peristiwa kali ini
justru terjadi di kalangan kampus, terutama FISIPOL Unri, yang sebelumnya tak
pernah terdengar.
Bicara dan mengungkapkan pendapat
sebebas-bebasnya tentang filsafat dan ilmu lainnya,’’ tulisnya dalam sebuah
tulisan. Dijelaskan Fedli lagi, ‘’Dia (manusia) bebas, cenderung ingin menjadi
“Tuhan” bagi dirinya sendiri, jika perlu bagi orang lain. Ia senantiasa
mencipta dan melahirkan kebaruan-kebaruan tanpa campur tangan Tuhan.
Lewat ilmu, teknologi-teknologi
dan semacamnya’’, jelasnya mengamati perkembangan teknologi saat ini yang
dikhawatirkan akan melampaui kehebatan manusia sebagai pencipta dari teknologi
itu sendiri. Satya Wira Wicaksana, seorang anak muda berpikiran kritis dan
kreatif menyebutkan keterjebakan manusia pada narasi dan pembahasan distopia
mengenai robot dan AI, pada dasarnya tidak lebih dari eskapisme.
Dia pernah menodong Simon See
Senior Director and Chief Solution Architect Nvidia AI dengan
pertanyaan; bisakah kita mengunduh skill melalui AI ini, sehingga kita
tidak perlu repot belajar lagi? Bisakah kita membentuk algoritma
sebagaimana ‘algoritma’ pada sisi emosional manusia? Simon menjawab singkat; download skill? Absolutely not. Cracking
algorithm? Secara teoretis, itu bisa saja terjadi.
Tapi, jauh, sangat jauh sekali
kita untuk mencapai ke sana’’. Pertanyaan dan jawaban Simon ini diceritakan
Satya dalam sebuah ulasannya terkait kesannya dari syarahan Shadu perdana ini.
‘’Lantas, mengapa kita bisa menjadi seabsurd itu? Perbincangan, yang selalu
mengarah pada invasi robot karena telah mencapai evolusinya, mengenai AI dan
peradaban manusia, tampaknya ada yang tinggal – atau premis itu sengaja
ditinggalkan atau dilompati karena kenaifan kita? Tanya Satya dalam
sebuah ulasannya dari peristiwa diskusi ini berjudul ‘’Kecerdasan
Bisa Saja Artifisial, Tapi Kegagapan Tidak’’.
Menurut Satya ada lompatan premis
yang berangkat dari perdebatan yang dengan hati-hati kita anggap selesai
tentang apa dan bagaimana kebenaran itu. Masih pentingkah mengungkit perdebatan
masa lalu untuk membahas AI? Hubungan ini menurutnya terletak pada
ketidakmampuan AI untuk menjadi independen. ‘’Segala hal yang AI miliki
merupakan turunan dari kreativitas manusia. Sehingga, ketika manusia gagal
mendefinisikan apa itu kebenaran, maka yang terjadi hanyalah peperangan
persepsi; bukan ide’’, urainya lagi.
Menurut Satya, dependensi AI
untuk menerima pengetahuan dan ilmu yang kemudian dikomputasi pada akhirnya
mengarah pada kegagalan AI untuk membentuk hal yang orisinil dan baru,
sebagaimana manusia; selalu mereplikasi dan merekonstruksi empirismenya menjadi
sesuatu yang dianggap baru yang pada dasarnya hanyalah sebuah kompilasi dari
berbagai entitas yang sudah ada lebih dulu.
Dalam disksui ini Satya juga
menyinggung klaim tentang kebenaran dalam diri manusia yang bermuara dari
konsensus ekstrem dan sekaligus mengatakan kebenaran bersifat
relatif. ‘’Ketika kita bersepakat akan sesuatu, maka sesuatu itu dijadikan kebenaran.
Sangat kontradiktif secara laten’’, jelasnya mempertanyakan kebenaran seperti
apa sebenarnya yang kita percayai. Apakah hanya karena konsensus bersama yang
dijadikan tolak ukur untuk mendefenisikan sebuah kebenaran. Dia mengambil
contoh misalnya dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap dicekoki dengan
analogi; kita menganggap air adalah air karena kita bersepakat tentang itu.
‘’Padahal cara berpikir seperti
itu sarat akan kerapuhan. Setidaknya, cara berpikir seperti itu luput dari
pembahasan bahwa apa yang dibicarakan adalah kebendaan-itu-sendiri
— dalam terminologi Kant dengan klasifikasinya terhadap perbedaan
antara Noumenon dan Phenomenon disebut “Das ding an sich” atau “Thing-at-itself”
bukan kesepakatan akan penamaan’’ urainya Panjang lebar. Singkatnya lanjut
Satya, menyandarkan klaim kebenaran pada konsensus-ekstrem
mengarahkan manusia kepada fatalisme berpikir.
Terlebih ketika hanya bermodalkan
persepsi untuk mencapai realitas itu sendiri. Dengan
begitu, kebenaran sudah pasti benar secara absolut. Tentu,
argumentasi ini memiliki konteks; bukan membicarakan mengenai penamaan dan
preferensi yang amoral (tanpa kaidah moral, bukan tidak bermoral). ‘’ Wajar
saja kita selalu menyematkan perbincangan distopia dan kekaguman sekaligus
dalam pembahasan AI.
Diam-diam kita ingin kabur dari
pesimisme, tapi naif untuk melihat ke pembahasan paling awal dan paling dasar
dari manusia dan terjerembab pada developmentalisme akut ‘’, urainya panjang
lebar. Dia sempat mempertanyakan, apakah AI adalah sebuah diskursus yang sangat cyberpunk? Sejalan dengan itu, dirupsi
teknologi, manusia digantikan oleh AI hampir dalam semua aktifitas global
berada pada dua sisi, utopia atau distopia, tergantung dari sudut mana kita
memandangnya (point of view).
Kecil kemungkinan ekstistensi
manusia dapat bertahan bila terus dihadapkan pada singularitas dengan
kecanggihan mesin pembelajar (deep learning) yang progresif itu. Di sisi lain
manusia sebagai mahluk yang kompleksitas tidak akan bisa tergantikan oleh
apapun termasuk robot atau cyborg jelmaan AI. Harus ditemukan jalan tengah agar
humanisme dapat dipertahankan (manusia Vs Robot AI). Ini bukanlah sebuah
kegalauan untuk dirisaukan.
Tapi adalah sebuah ranah
kehidupan yang terus berjalan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan yang terus
melesat maju. Cara yang paling ampuh bagi manusia adalah bagaimana memilki
keterampilan beradaptasi secara cepat di tengah perubahan yang ektra cepat. Di
akhir diskusi ini Prof. Yusmar Yusuf mengusik peserta diskusi dengan pertanyaan
mampukah manusia mengesampingkan ego sebagai mahluk paling sempurna? Bumi
adalah bagian kecil dari alam semesta. Bukan tidak mungkin ada mahluk lain di
planet lain yang mempunyai hak hidup yang sama di alam semesta yang maha luas
ini.
Murparsaulian___Penyair, penggiat media kreatif. Alumnus Universidad Autonomous de Barcelona, Spanyol
Redaktur: ZB