| Kamis 15 Dec 2016 20:27 WIB | 2515
MATAKEPRI.COM, Jakarta -- Kehadiran guru agama di sekolah sejatinya
tidak hanya menaburkan ajaran-ajaran keagamaan, tetapi mereka juga
diharapkan mampu menanamkan dan mengembangkan sikap kebangsaan pada
anak-anak didik, kata Dr Didin Syafruddin.
"Peran guru agama di
berbagai sekolah akhir-akhir ini menjadi semakin penting di tengah
tumbuhnya radikalisme di Indonesia," kata Peneliti Senior Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta itu di Jakarta, Kamis (15/12).
Didin mengemukakan keterangan tersebut dalam seminar bertajuk Guru Agama, Toleransi, dan Isu-isu Kehidupan Keagamaan Kontemporer di Indonesia yang berlangsung di Ruang Teater Prof Dr Zakiah Daradjat Fakultas Psikologi UIN Jakarta.
Didin
juga mengemukakan, mayoritas guru Pendidikan Agama Islam (PAI)
mendukung Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, namun mereka memiliki aspirasi yang kuat
dalam penerapan Syariat Islam.
"Mayoritas guru PAI menolak
kepemimpinan non-Muslim. Mereka juga menerima khilafiyah dalam bidang
fikih sebagai perbedaan yang harus dihormati dengan baik, tetapi tetap
menolak Ahmadiyah dan Syiah," katanya.
Pandangan peneliti senior
yang menamatkan studi doktoral (PhD) di McGill University Montreal
Kanada itu berangkat dari hasil penelitian PPIM terkait persepsi guru
PAI tentang toleransi dan isu-isu kehidupan keagamaan kontemporer di
Indonesia.
Penelitian itu sendiri berangkat dari asumsi bahwa
guru PAI harus menyampaikan nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan kepada
anak-anak didik secara imbang, namun fakta berdasarkan hasil penelitian
PPIM menyebutkan masih adanya bias.
Sampai sekarang, ungkap
Didin, masih banyak guru agama yang belum memahami kedudukan pentingnya
mengajarkan nilai-nilai kebangsaan. Tak hanya itu, beberapa guru agama
pun terbukti ikut-ikutan terseret ke dalam pusaran paham yang cenderung
eksklusif dan bahkan radikal.
"Bahkan, pemahaman sebagian guru
agama pun berpotensi menggugurkan Pancasila dan UUD 45. Mengapa hal
tersebut terjadi? Bagaimana sebetulnya persepsi seorang guru tentang
konsep Islam dan Negara? Bagaimana juga seorang guru memahami ide
toleransi?" ujarnya.
Melihat realitas seperti tu, Sekretaris Umum
PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu'ti memandang adanya kecenderungan penyamaan
pemahaman soal pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah. Akibatnya,
nilai inklusivitas dan pluralitas pandangan keberagamaan bisa tergerus,
apalagi buku ajar cenderung hanya memuat ajaran teologi dan ubudiyah,
dibanding isu-isu sosial keagamaan.
Pada titik ini, Abdul Mut'i
melihat perlunya penegasan siapa yang paling berhak mendidik dan
meluluskan guru agama. Faktanya, banyak guru agama yang tidak mengerti
pembacaan teks-teks keislaman.
Ia juga menyatakan prihatin banyak
mahasiswa PAI yang tidak bisa membaca dan memahami Alquran dengan baik
dan saat ini pengajaran agama Islam didominasi oleh sumber-sumber media
elektronik dan internet.
"Tren yang lain adalah, misalnya,
seseorang bisa masuk Fakultas Kedokteran dengan syarat hafal Alquran,"
katanya sambil menambahkan bahwa tren politik lokal berpengaruh pada
kecenderungan keberagamaan. Abdul Mu'ti lebih lanjut menekankan perlunya
membangun "mindset" (pola pikir) guru tentang peran mereka dalam
penanaman inklusivitas kebangsaan serta inklusivitas sosial guna
memahami pentingnya keberagaman sosial.
Sementara itu Direktur
Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama (Kemenag) RI Dr Imam Safei yang
juga hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut melihat bahwa
fakta-fakta yang ditemukan PPIM perlu mendapat perhatian khusus Kemenag.
"Untuk
itu, Kemenag akan meningkatkan kualitas dan kuantitas guru agama di
wilayah perbatasan RI. Kemenag juga mendorong Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan agar meningkatkan pembinaan terhadap guru PAI di
sekolah-sekolah umum," katanya menjelaskan.