News

Sepanjang 2016, KPK Lakukan 16 Kali OTT dengan 110 Tersangka

| Sabtu 24 Dec 2016 22:30 WIB | 2150



Kepemipimpinan KPK jilid 4


MATAKEPRI.COM - Selama tahun 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan 16 kali operasi tangkap tangan (OTT). Dari penangkapan ini, ada sebanyak 110 orang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi. Semua itu dihasilkan semasa kepemipimpinan KPK jilid 4 atau Ketua Agus Rahardjo yang memulai kiprahnya di awal 2016.

Para tersangka itu berasal dari berbagai kalangan dan profesi. “Unsur-unsurnya ada yang dari institusi penegak hukum seperti hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Bengkulu, advokat, dan juga sejumlah panitera pengadilan, anggota DPR/DPD, swasta, sejumlah pejabat di daerah baik kepala daerah maupun DPRD,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Sabtu (24/12/2016).

Dari total 110 tersangka termasuk 16 kali OTT, tercatat sejumlah kasus cukup mendapat sorotan publik karena melibatkan tokoh pejabat penting di Indonesia.

Di awal Januari 2016, KPK berhasil membongkar dugaan kongkalikong komisi V DPR dengan pejabat di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) dalam pembagian jatah proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara.

Hal itu terungkap dalam OTT terhadap Anggota Komisi V DPR Fraksi PDI Perjuangan, Damayanti Wisnu Putranti usai menerima suap dari pengusaha konstruksi asal Maluku, Abdul Khoir. Tak tanggung-tanggung, Khoir rela melakukan urunan hingga ratusan miliar rupiah dengan pengusaha lain untuk menyuap Damayanti dan sejumlah anggota komisi V DPR.

Tujuannya, agar komisi V menyalurkan program dana asprasi ke dalam proyek pembangunan jalan di Maluku, dan pekerjaannya dikerjakan pengusaha yang memberikan suap.

Menariknya, OTT terhadap Damayanti itu ternyata telah bocor lebih dulu ke telinga Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto.

Tak hanya anggota dewan, KPK jilid 4 juga terkenal “galak” dengan aparat penegak hukum dan pejabat di lingkungan peradilan yang nakal.

Sebut saja, Kasubdit Kasasi Perdata Mahkamah Agung (MA) Andi Tristianto Sutrisna, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat Fahri Nurmallo, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Kepahiang Bengkulu Janner Purba, serta hakim PN Kepahiang Toton.

Pada profesi panitera, KPK berhasil menjerat Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution, Panitera Pengganti PN Jakarta Utara Rohadi, dan Panitera Pengganti PN Jakarta Pusat Muhammad Santoso.

Mereka adalah tersangka penerima suap dari pihak berperkara terkait pengurusan kasus di pengadilan.

Selain itu, di 2016 KPK juga peduli terhadap korupsi di lingkungan korporasi.

Meski belum menjamah suatu korporasi sebagai tersangka lantaran menunggu penyusunan Peraturan MA (Perma), KPK tercatat menjerat tiga pimpinan korporasi yang mencoba memengaruhi kebijakan pemerintah, memuluskan proyek, atau meminta bantuan penanganan perkara.

Di pertengahan 2016, KPK menjerat Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.

Ariesman memberikan suap sebesar Rp 2 miliar kepada anggota DPRD DKI Jakarta, M Sanusi. Tujuannya, untuk memengaruhi pembahasan Raperda terkait reklamasi teluk Jakarta agar menghilangkan aturan kontribusi tambahan 15 persen bagi penggarap proyek reklamasi.

Usai Ariesman, Presiden Direktur Lippo Group Eddy Sindoro menjadi pasien KPK berikutnya.

Meski keterlibatannya telah tercium sejak pertengahan 2016, Eddy baru ditetapkan sebagai tersangka pada 23 Desember 2016.

Eddy diduga memberi suap kepada Panitera PN Jakpus Edy Nasution terkait pengajuan Peninjauan Kembali yang telah melewati batas waktu.

Jumat (23/12), KPK menahan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah.

Fahmi ditetapkan tersangka karena diduga menyuap pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi. Suap diberikan untuk memuluskan proyek satelit monitoring yang didanai APBN-P 2016.

Selain itu, penangkapan Ketua DPD Irman Gusman pada September 2016 lalu yang cukup menyita perhatian publik. Betapa tidak, unsur DPD yang dinilai bersih dari kepentingan politik dan tidak terkait proyek apapun, justru tercoreng dengan tertangkapnya Irman.

Irman tertangkap usai menerima uang sebesar Rp 100 juta dari pengusaha pangan asal konstituennya, Sumatra Barat, Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi.

Suap diberikan karena Irman telah membantu mengurus distribusi kuota gula impor di wilayah Padang, dan memperdagangkan pengaruhnya kepada Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti untuk menunjuk perusahaan Memi; CV Semesta Berjaya agar mendapatkan jatah kuota gula impor.

Terkait banyaknya jumlah OTT di 2016, KPK menilai tangkap tangan penting dilakukan.

“Karena kita tahu korupsi dilakukan di ruang-ruang gelap. Persekongkolan dan hal-hal yang bersifat transaksional hanya bisa dilawan dengan operasi seperti ini. Meskipun kadang nilai yang ditangkap tidak besar, namun penangkapan dapat mencegah korupsi yang lebih besar,” ujar Febri.



Share on Social Media