| Kamis 16 Feb 2017 09:47 WIB | 2099
MATAKEPRI.COM, Osaka - Obesitas hukum dan tumpang tindih regulasi mulai
mengemuka dalam pertemuan para begawan hukum di Rancamaya, Bogor pada
akhir 2016. Salah satu rekomendasinya adalah meminta Kemenkum HAM
menjadi leader untuk menyelesaikan hal itu.
Menkum HAM Yasonna
Laoly pun mengirim para ahli, akademisi, peneliti dan tim dari Ditjen
Peraturan Perundangan Kemenkum HAM ke Jepang untuk melihat sistem hukum
Jepang yang simpel dan sederhana. Berbagi pengalaman antar dua negara
itu membuat delegasi Indonesia cukup tercengang.
"Nampaknya
penting untuk melihat problem tumpang tindih peraturan
perundang-undangan di Indonesia dengan melihat ke praktik yang ada di
Jepang ini. Misalnya tentang tumpang tindih peraturan antar
kementerian," kata pengajar UGM Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar.
Hal
itu disampaikan di sela-sela rangkaian training 'Study for the
Amendment to the Law' di Osaka, Jepang yang dilaksanakan pada 12-22
Februari 2017. Dari Indonesia, training tersebut diikuti antara lain
oleh Dirjen Peraturan Perundangan Prof Widodo Ekatjahjana, Ketua Program
Studi S3 Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof Adji Samekto,
guru besar Universitas Andalas (Unand) Prof Saldi Isra, Direktur
Puskapsi Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono, akademisi Unand Feri
Amsari, ahli hukum Refly Harun dan tim dari Ditjen PP Kemenkum HAM.
Adapun dari Jepang diikuti oleh pejabat Kementerian Kehakiman setempat
serta akademisi Jepang.
"Tidak atau sangat jarang terdapat
tumpang tindih antara satu aturan, semisal antara satu kementerian
dengan kementerian yang lain. Oleh karena, pertama mereka ketika membuat
aturan sudah sangat berhati-hati dan lengkap sehingga antara satu
kementerian dengan kementerian yang lain tidak menjadi tumpang tindih
kewenangan," papar Zainal.
Salah satu yang menarik adalah Jepang
tidak mengenal Peraturan Bersama antarkementerian/antarlembaga yang
kerap digunakan di Indonesia. Jepang juga tidak mengenal adanya Surat
Keputusan Bersama (SKB) layaknya di Indonesia. Sebab di Jepang,
koordinasi antar kementerian berjalan baik.
"Satu kementerian
akan menangani kewenangannya dan tak perlu ada irisan kewenangan dengan
yang lain. Kedua, tatkala ada kepentingan yang beririsan maka dilakukan
kordinasi kemudian menunjuk salah satu kementerian untuk leading di
sektor tersebut," ujar Zainal.
Salah satu contohnya yaitu saat
Jepang ingin menafsirkan pasal suap. Sesuai KUHP setempat, suap hanya
berlaku bagi orang yang menyuap PNS Jepang. Tapi menjadi masalah bila
perusahaan Jepang yang ada di luar negeri menyuap PNS negara setempat.
Apakah termasuk suap atau tidak, karena yang disuap bukan PNS Jepang.
Untuk
memecahkan hal itu, Kementerian Kehakiman Jepang menjadi leading sector
untuk memecahkan hal itu dengan menggandeng Kementerian Perdagangan dan
Kementerian Luar Negeri. Hasilnya lahir pidana korporasi dalam UU
Persaingan Tidak Sehat yaitu perusahaan Jepang bisa dipidana bila
melakukan praktik suap meski di luar negeri.
"Artinya, penting
soal kejelasan dan kordinasi ini. Dengan aturan dan pembagian yang jelas
tidak akan ada tumpang tindih antar lembaga. Kalau pun ada maka akan
diselesaikan dengan kordinasi," cetus Zainal.
Dari pengalaman
Jepang tersebut, Zainal meminta pemerintah Indonesia untuk
mengaplikasikannya di Indonesia dengan melangsingkan peraturan di
Indonesia yang tumpang tindih hampir di segala lini. Di mana saat ini di
Indonesia ada 62 ribu peraturan lebih, sedangkan Jepang hanya memiliki
8.294 peraturan per Desember 2016.
"Di kita, inilah pentingnya untuk memberdayakan menteri koordinasi. Harusnya selesai di tingkat ini," pungkas Zainal.