News, Kesehatan, Hiburan
| Selasa 24 Oct 2017 15:04 WIB | 2036
MATAKEPRI.COM - Sebagian
orang ketika mendengar lelucon pastinya akan tertawa. Namun, uniknya ada
beberapa individu yang takut dengan tertawa. Meski tertawa memiliki manfaat
bagi kesehatan.
Ya,
ini memang terdengar aneh, mereka yang takut pada tawa disebut dengan
Gelotophobia, yaitu takut ditertawakan. Gelotophobia ditandai dengan proses
tawa atipikal di otak, mereka yang menderita gelotophobia bereaksi terhadap
semua tawa seolah-olah harganya mahal. Dengan kata lain, untuk gelotophobia
tidak ada kata kita tertawa bersama atau bahkan kita tertawa di dekatnya,
selalu kita menertawakan mereka.
Psikolog
yang meneliti gelotophobia, Willibald Ruch, mengatakan kepada Scientific
American, individu dengan fobia tawa tidak mempercayai tawa ramah, mereka
menganggap bahwa seseorang hanya menikmati diri mereka sendiri. Dengan kata lain,
individu yang mengalami gelotophobia merasa terancam karena kegembiraan orang
lain.
Kondisi
fobia itu menimbulkan konsekuensi gangguan kesehatan bagi mereka seperti sakit
kepala stres, gemetaran yang tak terkendali, hingga kemarahan yang dipicu
adrenalin. Seorang pasien yang diamati Ruch bahkan tidak bisa duduk di depan
orang lain saat berada di tempat umum.
"Orang
ini akan selalu menunggu bus berikutnya jika tidak ada kursi di baris terakhir
yang bebas. Dia tidak tahan dengan gagasan bahwa seseorang akan duduk di
belakangnya dan tertawa," kata Ruch, seperti dilansir dari laman Reader's
Digest, Jumat (13/10/2017).
Apa penyebab fobia tawa?
Apa
yang menyebabkan fobia tawa berkembang? Penelitian di atas menunjukkan bahwa
bullying atau intimidasi sering jadi akar masalahnya. Anak-anak yang tumbuh di
rumah tangga di mana orangtua cepat menerapkan hukuman dan disiplin yang parah
lebih cenderung fobia tawa di kemudian hari. Demikian juga, satu pengalaman
traumatis yang intens terkait intimidasi atau pengalaman berulang-ulang dapat
menyebabkan gangguan pada anak-anak dan orang dewasa.
Gelotophobia
dapat mempengaruhi sebanyak 13 persen populasi global, kemungkinan besar
terjadi di negara-negara dengan budaya sosial yang menjunjung tinggi nilai
kehormatan dan harga diri.
Satu
survei global terhadap lebih dari 15.000 individu yang berpotensi fobia tawa
menemukan bahwa orang-orang di Finlandia, yang dipandang sebagai masyarakat
egaliter, paling tidak percaya bahwa orang-orang yang tertawa terbahak-bahak
menertawakan mereka (8,5 persen). Sementara, 80 persen responden di Thailand
percaya ini benar.
Ruch
percaya bahwa ketakutan akan tawa bisa diobati dengan jenis terapi yang sama
yang digunakan untuk mengatasi fobia lainnya. Namun karena penelitian tentang
gelotophobia masih tergolong baru, belum ada solusi pasti untuk mengatasi fobia
ini.(www.liputan6.com/***)