News

Presiden Digugat ACTA, Terkait Ahok Kembali Aktif Jadi Gubernur

| Senin 13 Feb 2017 17:30 WIB | 2418




MATAKEPRI.COM, Jakarta - Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) menggugat pemerintahan Jokowi-JK, khususnya Presiden Joko Widodo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta.

Gugatan diajukan menyusul masih aktifnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta yang berstatus terdakwa.

Tim ACTA telah mendaftarkan gugatan ke PTUN DKI Jakarta di Jalan Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur, Senin (13/2/2017).

Gugatan PTUN ini didaftarkan Pembina ACTA sekaligus Ketua DPP Bidang Advokasi Partai Gerindra, Habiburokhman, didampingi Wakil Sekjen ACTA Yustian Dewi Widiastuti.

Gugatan terdaftar dengan nomor registrasi, No 36/G/2017/PTUN.

Dalam petitum atau permohonan utama gugatan, ACTA meminta majelis hakim memutuskan mewajibkan tergugat dalam hal ini Presiden Joko Widodo menerbitkan Surat Keputusan Pemberhentian Sementara Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.

"Tergugat presiden, penggugat Habiburokhman," kata Yustian di sela pendampingan pemeriksan Sekretaris FPI DPD DKI Jakarta, di kantor Bareskrim Polri, Gedung KKP, Jakarta, Senin (13/2/2017) siang.

Menurut Yustian, gugatan dilakukan karena Ahok kembali menjabat sebagai gubernur dan berkantor di Balai Kota pasca-cuti kampanye sejak 28 Oktober 2016 sampai 11 Februari 2017.
Padahal, saat ini Ahok berstatus terdakwa dan menjalani persidangan kasus penodaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Menurutnya, dasar hukum gugatan PTUN ini mengacu pada Pasal 83 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal tersebut mengatur bahwa, kepala daerah yang menjadi terdakwa dengan aarus diberhentikan sementara. Selain itu, gugatan juga megacu pada Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut Yustian, ada dua alasan atau dalih yang membuat ACTA mengajukan gugatan ini.

Pertama, Ahok tetap dinyatakan sebagai terdakwa dugaan pelanggaran Pasal 156a meskipun dakwaan perkaranya bersifat alternatif sehingga bisa diberhentikan sementara.

Salah satu rujukan atau yurisprudensinya adalah pemberhentian sementara Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Noviadi yang juga didakwa dengan dua pasal dengan ancaman pidana penjara ‘lebih dari’ dan ‘kurang dari’ lima tahun.

Ahmad Wazir didakwa Pasal 112 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang ancaman hukumannya 12 tahun dan Pasal 127 UU yang sama yang ancaman hukumannya paling lama 4 tahun.

“Dalam kasus itu Mendagri memberhentikan sementara, bahkan sejak Ahmad Wazir masih tersangka,” ujar Yustian.

Dalih kedua, bahwa frasa "...tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun" yang ada pada Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Haruslah dipahami bahwa tindak pidana yang dimaksud adalah yang ancman hukuman maksimalnya adalah lima tahun penjara.
Maksud frasa tersebut dapat mudah diketahui jika mengacu pada risalah pembahasan pasal tersebut.

"Bahwa kepala daerah yang menjadi terdakwa dengan pasal dakwaan yang ancaman pidana penjaranya lima tahun atau lebih maka akan diberhentikan sementara,” ujar Yustian.

Yustian optimistis pihaknya memenangkan gugatan ini kendati Mendagri Tjahjo Kumolo mempunyai alasan tafsir hukum sendiri bahwa Ahok belum mendapatkan tuntutan hukuman dari jaksa di persidangannya.

"Makanya nanti diuji di pengadilan. Karena yang berhak melakukan penjurian atau penafsiran itu hakim, bukan siapa-siapa," kata dia.

Selain digugat ke PTUN, saat ini sejumlah anggota DPR RI di Senayan juga sedang mendorong pengajuan hak angket ke pemerintahan Jokowi-JK atas kembali aktifnya Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang sudah berstatus terdakwa.

"Biar berjalan masing-masing. Yang jelas, kami pasti banding kalau gugatan PTUN ditolak. Kalau banding ditolak, kami kasasi dan selanjutnya sampai kami akan PK (Peninjauan Kembali)," ucapnya.







Share on Social Media